(Mentelaah ulang atas
tulisan Benarkah poligami sunnah? oleh: Madonk Al-Qohiri A-10)
Oleh: Alena En-Nadhiry
(pu3 pemuja rahsia)
Pembaca
yang budiman, sudah dimaklumi bahwa momentum peringatan Hari Kartini setiap 21
April oleh banyak kalangan dijadikan kesempatan untuk menyuarakan kembali isu
persamaan gender. Dengannya mereka menikam syariat yang suci. Dan di antara
yang sering menjadi sorotan manusia-manusia tidak beradab tersebut adalah
syariat poligami. Maka dalam rangka menjelaskan kebenaran dan membungkam
“celotehan” kami turunkan tulisan seorang pemuka ulama Universitas Al Azhar
Cairo Mesir di zamannya Asy-Syaikh Ahmad Syakir yang membantah celotehan
penyeru “emansipasi wanita” dan pembela ajaran “persamaan gender” seolah-olah
beliau hidup di zaman kita membantah orang-orang yang mengatakan: “poligami
bukan sunnah” –lalai atau belagak bodo bahwa sunnah dimaksud adalah ajaran Nabi
Shallallahu `Alaihi Wasallam-, atau mengatakan: “poligami bukan ajaran Islam”
–karena nekat ingin memperdaya kaum muslimin awam- dan ucapan-ucapan yang
lainnya yang bersumber dari keawaman yang dibungkus dengan bahasa yang
sepertinya ilmiyah. Hasbunallahu wa ni’mal wakiil.
Dan maklum
diketahui, bahwa di sini kami bukan dalam rangka memperingati Hari Kartini
–sekali-kali tidak-. Karena Hari Raya bagi kami hanya dua Iedul Fithri dan
Adh-ha –dua hari raya yang diakui Islam-. Melainkan kami hanya memanfaatkan
momentum hari ini sebagai kesempatan untuk menjelaskan kebenaran, sebagaimana
para pengekor kebatilan memanfaatkannya untuk menjajakan kesesatan mereka.
Sekian dari kami, dan sekarang kami tinggalkan anda menyimak keterangan di
bawah ini. Wassalam.
Berkata beliau
rahimahullah dalam Umdatut-Tafsir (3/102);
Telah
bermunculan di zaman kita sekarang ini generasi dengan paham kafir, nalar ala
Nasrani. Mereka tumbuh di bawah didikan barat di negeri-negeri kita dan
negeri-negeri mereka sendiri. Mereka dibesarkan dengan aqidah-aqidah tersebut.
Sesekali dengan terang-terangan dan terkadang malu-malu. Sampai mereka berhasil
menyusupkan paham-paham sesatnya dan menguasai fitrah-fitrah kaum muslimin.
Sehingga jadilah motto utama mereka adalah mengingkari poligami, dan
memandangnya sebagai perbuatan keji yang tidak bisa diterima oleh akal mereka.
Diantara
mereka ada yang terang-terangan mengingkarinya dan diantara mereka ada yang
malu-malu. Dalam hal ini mereka dibela oleh sebagian orang-orang yang
mengaku-ngaku ulama Al Azhar, yang mana seharusnya kewajiban seorang ulama
adalah membela Islam dan memperkenalkannya kepada orang-orang jahil
hakikat-hakikat syari’at. Akan tetapi yang terjadi malah kebalikannya, mereka
bangkit membela orang-orang yang memang telah tumbuh dengan didikan dan aqidah
kafir guna membatasi poligami di dalam Islam, kata mereka!!
Para ulama
tersebut tidak mengetahui bahwa yang diinginkan oleh manusia-manusia tersebut
hanyalah memupuskan sisa-sisa paham poligami di negeri-negeri Islam. Dan tidak
ada yang diinginkan oleh anak-anak didikan barat tersebut dari para ulama Al
Azhar selain bersama-sama dengan mereka dalam mengharamkan poligami dan
melarangnya sampai ke akar-akarnya. Yang ada di dalam pikiran pemimpin-pemimpin
mereka, poligami adalah kemungkaran karena itu mereka menolak keberadaannya
dari segala macam sisinya.
Kemudian
kondisinya menjadi semakin parah, sampai-sampai kami mendengar salah satu
negara yang mengaku islami meletakkan di dalam undang-undang mereka larangan
dari berpoligami, bahkan undang-undang tersebut tegas-tegasan menyatakan
perkataan yang kufur, bahwa poligami –menurut mereka- adalah haram.
Mereka
tidak sadar bahwa disebabkan pernyataan lancang dan jahat ini mereka menjadi
murtad keluar dari agama Islam. Sehingga berlakulah atas mereka serta
orang-orang yang ridha dengan perbuatan mereka ini seluruh hukum bagi orang
yang murtad yang telah dikenal oleh setiap kaum muslimin. Atau tidak jauh
kemungkinannya bahwa mereka sendiri mengetahuinya, sehingga mereka masuk ke
dalam kekufuran dan kemurtadan dalam keadaan tahu dan dengan sengaja.
Bahkan
salah seorang yang mengaku sebagai ulama Al Azhar –dan ini adalah cobaan besar
bagi Universitas Al Azhar- pernah saking lancangnya, ia membuat tulisan yang
terang-terangan menyatakan bahwa Islam mengharamkan poligami. Perbuatan ini
merupakan kelancangannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sekaligus
merupakan kedustaan dengan mengatasnamakan agama-Nya, padahal merupakan
tanggung jawab baginya adalah menjaga agama Allah, dan menjadi di antara
orang-orang yang turut menegakkannya dan membelanya!!
Bahkan ada
diantara mereka –pria dan wanita- yang baru tahu baca tulis memposisikan
diri-diri mereka sebagai mujtahid agama, meng-istimbath hukum-hukum dan
memfatwakan halal dan haram serta mencaci maki ulama-ulama Islam ketika
ulama-ulama tersebut ingin mengingatkan mereka dan berhenti dari
kelancangannya. Padahal kebanyakan makhluk-makhluk lancang ini tidak tahu tata
cara wudhu’ dan shalat bahkan tidak tahu bagaimana bersuci, akan tetapi mereka
dalam masalah poligami adalah ahli ijtihad!!
Bahkan kami
menyaksikan diantara mereka ada yang ikut campur dalam urusan yang mereka tidak
memiliki ilmunya berdalil dengan ayat-ayat Al Qur’an dengan makna, karena dia
tidak tahu lafal Al Qur’an!!
Dikarenakan
kelakuan-kelakuan mereka yang jahat serta kelancangan-kelancangan mereka yang
mungkar dan kekufuran-kekufuran mereka yang nyata ini masuklah orang-orang non
muslim ke dalam masalah ini. Mereka menulis pandangan-pandangannya dalam rangka
ijtihad!! Seperti pendahulu-pendahulunya meng-istimbath hukum-hukum dari Al
Qur’an –padahal mereka tidak beriman dengannya- untuk memperdaya kaum muslimin
dan menyesatkan mereka dari agama mereka.
Sampai-sampai ada
seorang penulis non muslim membuat tulisan di salah satu harian yang sepertinya
islami, orang ini menulis artikel dengan judul “Poligami adalah Aib” dengan
kelancangannya ini berarti dia telah mencaci syariat Islam, dan memaki seluruh
ummat Islam sejak datangnya Islam sampai sekarang. Dan (bersamaan dengan ini
semua) kami tidak mendapati seorang pun yang terpanggil kecemburuannya yang
apabila sebaliknya ada seorang penulis muslim yang berani mencaci agama si
penulis tersebut, yakin ramai-ramai mereka akan membela agamanya. Akan tetapi
ummat Islam memang orang-orang yang beradab.
Yang
pertama kali dilakukan oleh manusia-manusia anti poligami ini adalah berlagak
prihatin dengan keutuhan keluarga, terutama anak-anak. Mereka menuduh poligami
sebagai penyebab meningkatnya jumlah anak-anak terlantar, terlebih lagi kondisi
kebanyakan kaum bapak yang pas-pasan, kemudian menikahi lebih dari seorang
istri. Mereka adalah para pendusta, bahkan sensus yang mereka buat yang
mendustakan mereka sendiri. Lantas mereka ingin menetapkan undang-undang yang
mengharamkan poligami bagi laki-laki yang fakir, dan mengidzinkan hanya kepada
laki-laki yang kaya dan berkecukupan!! Ini adalah keburukan di antara sederet
keburukan yang lainnya yaitu menjadikan syariat Islam yang mulia ini terbatas
bagi orang-orang kaya. Kemudian ketika upaya yang mereka lakukan tidak mendapat
sambutan, malah kegagalan yang mereka rasakan, mereka beranjak kepada langkah
berikutnya, yaitu mempermainkan ayat-ayat Al Qur’an tentang poligami.
Mereka
berdusta bahwa bolehnya poligami bersyarat, yaitu syaratnya adil, sedangkan
Allah Ta’ala mengabarkan bahwa berbuat adil adalah mustahil. Ini yang menjadi
sandaran haramnya poligami menurut mereka akibat pendalilan sempit yang mereka
lakukan, berdalil dengan sebagian ayat dan meninggalkan sebagian lainnya. Dalil
mereka adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
“Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu
sangat ingin berbuat demikian” (Qs. An-Nisaa’; 129) dan mereka campakkan
firman-Nya yang berbunyi, “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (Qs.
An-Nisaa’; 129).
Keadaan mereka seperti
orang-orang yang beriman dengan sebagian Al Kitab dan meninggalkan sebagian
yang lain!
Kemudian
mereka juga mempermainkan lafal-lafal dan sebagian kaidah-kaidah ushul. Mereka
menamakan poligami dengan hukum mubah (boleh), dan atas pemerintah hendaknya
mengikat sebagian perkara yang mubah dengan ikatan-ikatan (peraturan) yang
sesuai demi kemaslahatan. Padahal mereka tahu betul, dalam hal ini mereka sesat
dan menyesatkan, karena tidaklah layak poligami dinamakan dengan mubah yang
menurut makna ilmiyah yang sebenarnya adalah; perkara yang dibiarkan yang tidak
ada keterangan nas akan halal dan haramnya. Perkara yang mubah adalah yang
Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wa Sallam katakan,
“Apa-apa yang
dihalalkan oleh Allah maka halal hukumnya, sedangkan apa-apa yang diharamkan
oleh Allah maka haram hukumnya, dan apa yang dibiarkan maka itu adalah maaf
(dari-Nya)”.
Adapun poligami,
terdapat di dalam Al Qur’an nash yang jelas akan kehalalannya, ditambah lagi
penghalalan poligami datang dalam bentuk perintah yang mana hukum asalnya
adalah wajib, Allah Ta’ala berfirman, “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi” (Qs. An-Nisaa’; 3), adapun berubahnya hukum wajib kepada halal
adalah dengan firman-Nya, “Yang kamu senangi” (Qs. An-Nisaa’; 3).
Kemudian (sebenarnya)
mereka mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa poligami adalah halal (bukan
mubah) dengan sebenar-benarnya makna halal, dengan nas Al Qur’an dan
berdasarkan contoh yang mutawatir lagi nyata dan tidak diragukan lagi semenjak
zaman Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, para shahabat-Nya, hingga hari ini,
akan tetapi mereka adalah kaum yang suka berdusta.
Dan syarat
adil pada ayat ini, “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja” (Qs. An-Nisaa’; 3) adalah syarat pribadi bukan
tasyri’, yaitu syarat yang kembalinya kepada individu mukallaf bukan hal yang
diatur oleh pengadilan dan mahkamah. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala telah
mengidzinkan bagi seorang lelaki –idzin dengan bentuk perintah- untuk menikahi
wanita-wanita yang dia sukai tanpa syarat harus dengan idzin seorang hakim atau
undang-undang atau pemerintah, atau yang lainnya. Allah Ta’ala juga
memerintahkan apabila seseorang takut tidak dapat berbuat adil kepada istri-istrinya,
hendaknya dia mencukupkan dengan seorang istri saja. Karena siapa pun tidak
berkuasa atas hati seseorang yang ingin menikah sampai dia mengetahui apa yang
terdapat di dalam hatinya dari perasaan takut atau tidaknya dia dari tidak
dapat berbuat adil.
Bahkan dalam hal ini
Allah Ta’ala telah menyerahkan keputusannya kepada pertimbangan hatinya, dan
mengajarkannya bahwa pada hakikatnya dia tidak dapat berbuat adil antara
istri-istrinya dengan sesempurnanya, dimana tidak ada sedikit pun
kecondongannya terhadap salah satu istri-istrinya, karena itulah Allah Ta’ala
memerintahkannya untuk tidak condong (dalam ayatnya),
“Karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung” (Qs. An-Nisaa’;129).
Pada ayat ini Allah
Ta’ala menganggap cukup dalam mentaati perintahnya untuk berbuat adil, dengan
dia melakukan keadilan tersebut semampunya, dan memaafkan darinya hal-hal
diluar kemampuannya.
Keadilan
yang diperintahkan ini adalah diantara perkara yang berubah-ubah sesuai
keadaan, yang terkadang datang dan pergi pada diri mukallaf yang bersangkutan,
oleh karena itu tidak masuk akal kalau ia menjadi syarat sahnya akad, yang
benar ia semata-mata hanya syarat pribadi yang erat kaitannya dengan diri si
mukallaf dan sikapnya.
Berapa
banyak orang yang bertekad untuk melakukan poligami dan di dalam hatinya
memendam niat untuk tidak berlaku adil, kemudian dia pun tidak menjalankan apa
yang dahulu dipendamnya dan malah berlaku adil kepada istri-istrinya. Dalam hal
ini tidak seorang pun yang paham syariat sanggup menuduh orang tersebut telah
menyelisihi perintah Rab-nya, karena dia telah mentaati-Nya dalam berlaku adil.
Sedangkan tekad di dalam hatinya sebelum itu –untuk tidak berlaku adil- tidak
berpengaruh apa-apa terhadap sah tidaknya akad –sejak semula-, terlebih lagi
bahwa nash-nash seluruhnya secara tegas menerangkan bahwa Allah Ta’ala tidak
memberikan sangsi kepada seorang hamba terhadap bisikan hatinya selagi dia
tidak melakukannya atau mengatakannya.
Dan berapa banyak orang
yang berpoligami dengan tekad untuk berbuat adil akan tetapi tidak dia lakukan.
Maka orang ini telah menanggung dosa dengan meninggalkan keadilan dan
meyelisihi perintah Rab-nya. Akan tetapi tidak seorang pun yang paham syariat
sanggup menuduh bahwa kejahatannya mempengaruhi asal akadnya dengan istri yang
baru sehingga memindahkannya dari halal dan boleh kepada haram dan batal,
melainkan dosanya kembali kepada dirinya sendiri dalam urusan ketidakadilannya
kepada pada sang istri. Dan yang wajib baginya adalah mentaati Rab-nya dalam
menegakkan keadilan, ini adalah perkara yang sudah dimaklumi tidak ada yang
menyelisihi dalam hal ini dari orang-orang yang paham agama dan syariat.
Adapun
mereka adalah para pengikut hawa nafsu yang menunggangi akal-akal mereka, bukan
ahli ilmu apalagi dalil, mereka menyelewengkan dalil dari tempatnya, dan
mempermainkan dalil-dalil syariat dari Al Kitab dan As-Sunnah selagi mereka
mampu.
Diantara permainan
mereka, mereka berdalil dengan kisah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu `Anhu
ketika melamar anak perempuan Abu Jahl di masa hidup Fathimah binti Rasulullah
Shallallahu `Alaihi Wasallam. Dan ketika Rasulullah Shallallahu `Alaihi
Wasallam dimintai idzin dalam hal ini, beliau berkata,
“Saya tidak
mengidzinkan, tidak mengidzinkan, tidak mengidzinkan, kecuali apabila Ibnu Abi
Thalib ingin menceraikan anakku kemudian menikahi anak mereka, karena
sesungguhnya dia (Fathimah –pentj) adalah bagian dariku menggundahkanku apa-apa
yang menggundahkannya dan menyakitiku apa-apa yang menyakitinya”.
Mereka tidak membawakan
hadist lengkap dengan lafalnya akan tetapi merangkum kisah dengan rangkuman
yang buruk untuk dipakai dalil bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi Wasallam melarang
poligami, bahkan sebagian mereka terang-terangan berdalil dengan kisah ini
untuk mengharamkan poligami! Mempermainkan agama dan berdusta atas nama Allah
dan Rasul-Nya.
Lantas
mereka meninggalkan kelanjutan kisah yang di sana terdapat bantahan atas
kedustaan mereka –saya tidak katakan pendalilan mereka- yaitu perkataan
Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam pada kejadian yang sama,
“Dan saya bukannya
mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram, akan tetapi demi
Allah tidak akan bersatu anak Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dengan
anak musuh Allah disatu tempat selama-lamanya”
Kedua lafal diatas
diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Inilah Rasulullah Shallallahu `Alaihi
Wasallam sang penyampai dari Allah Ta’ala yang ucapannya adalah pembeda antara
yang halal dan yang haram menegaskan dengan lafal arabi yang nyata pada
kejadian yang penting yang berkaitan dengan orang yang paling dicintainya yaitu
anaknya yang mulia As-Sayyidah Az-Zahra’ bahwa ia tidak menghalalkan yang haram
dan tidak mengharamkan yang halal, akan tetapi ia mengingkari apabila anaknya
berkumpul dengan anak musuh Allah dibawah tanggungan seseorang.
Menurut pemahamanku
(penulis –pentj): Bahwa beliau Shallallahu `Alaihi Wasallam tidak melarang Ali
Radhiyallahu `Anhu menyatukan anaknya dengan anak Abu Jahl, dimana kapasitasnya
sebagai seorang Rasul yang menyampaikan hukum syariat dari Rab-nya, hal ini
berdasarkan dalil keterangan dari beliau sendiri bahwa ia tidak mengharamkan
yang halal dan tidak menghalalkan yang haram, akan tetapi beliau melarang
sebagai larangan pribadi beliau sebagai kepala keluarga yang mana Ali
Radhiyallahu `Anhu adalah anak pamannya dan Fathimah anaknya, hal ini
berdasarkan bahwa keluarga dari anak perempuan Abu Jahl yang datang kepada
beliau meminta idzin kepada beliau dalam urusan yang diminta oleh Ali Radhiyallahu
`Anhu dari mereka. Dan perkataan kepala keluarga tidak disangkal lagi ditaati
terlebih lagi apabila dia seorang pemuka Quraisy dan Arab bahkan pemuka
sekalian manusia Shallallahu `Alaihi Wasallam.
Tidak ada
pada mereka sedikitpun pendalilan begitu pula kesungguhan mengikuti dalil dari
Al Kitab maupun As-Sunnah. Tidak pula mereka dikatakan ahli dalam hal ini dan
memiliki kemampuan. Akan tetapi yang ada pada mereka semata-mata hanyalah hawa
kepada sesuatu tertentu yang mereka cari-cari alasan-alasannya yang terkadang
hanya dilontarkan oleh orang jahil atau orang yang lalai.
Bahkan pada
goresan tulisan-tulisan mereka terdapat bukti yang menyingkap dan membongkar
apa yang mereka sembunyikan dalam batin-batin mereka. Diantara contohnya bahwa
ada seorang pejabat tinggi di salah satu departement pemerintahan di negeri
kami, membuat tulisan yang mengesankan bahwa tulisan tersebut resmi dan dimuat
di koran-koran sejak beberapa tahun yang lampau, dia memposisikan dirinya
sebagai seorang mujtahid bukan hanya dalam syariat Islam semata bahkan dalam
seluruh syariat dan hukum!! Diapun lancang dengan membuat perbandingan antara
agama Islam -dalam perkara dimana syariat Islam menghalalkan poligami- dengan
agama-agama lainnya!! Begitu pula (Islam dibanding-bandingkan –pentj) di sisi
hukum dan undang-undang ummat-ummat paganis! Orang ini tidak punya malu
sehingga mengunggulkan ajaran Nasrani yang mengharamkan poligami, begitu pula
ajaran-ajaran kufur lainnya yang serupa bahkan perkataannya nyaris lugas
menyatakan keutamaan ajaran-ajaran mereka dari ajaran Islam yang suci!!
Orang ini
lupa bahwa dengan perbuatannya tersebut berarti dia telah keluar dari agama
Islam dengan kekufuran yang nyata, padahal dari namanya mengisyaratkan bahwa
orang ini dilahirkan dalam keluarga muslimah. Ditambah lagi perkataannya yang
menandakan jahilnya orang ini dengan agama Nasrani sehingga dia menetapkan
keunggulan agama Nasrani dari ajaran Islam. Karena merupakan hal yang sangat
diyakini dan tidak diragukan lagi bahwa Sayyiduna Isa Alaihissalaam tidak
mengharamkan poligami yang halal di dalam Taurat yang mana Isa As sendiri
datang untuk membenarkan apa yang terdapat di dalam Taurat sebagaimana hal ini
dimaklumi berdasarkan nash yang terdapat di dalam Al Qur’an. Akan tetapi yang
mengharamkannya adalah sebagian pendeta-pendeta yang datang setelah Sayyiduna
Isa As lebih dari delapan ratus tahun sesudahnya dengan pasti, yang dengannya
mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri hak dalam menghalalkan dan
mengharamkan. Dan hal inilah yang disesalkan oleh Allah Ta’ala di dalam
kitab-Nya yang mulia, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb )
Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha
Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan”. (QS. At-Taubah: 31)
Yaitu ayat
yang ditafsirkan oleh Rasululullah Shallallahu `Alaihi Wasallam ketika Adi bin
Hatim At-Tha’i Radhyallahu `Anhu –yang sebelumnya adalah penganut agama
Nashrani dan kemudian memeluk Islam- minta kepada beliau tafsirannya, yaitu
tatkala ia mendangar ayat ini seraya ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu
`Alaihi Wasallam, “Sesungguhnya mereka tidak menyembah orang-orang alim dan
rahib-rahib mereka? Maka Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam bersabda,
“Tentu sesungguhnya mereka telah mengharamkan untuk ummatnya apa yang telah
dihalalkan dan menghalalkan apa yang telah diharamkan, lantas mereka mengikuti
perintah orang-orang alim dan rahib-rahib tersebut, itulah bentuk peribadahan
mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib tersebut”
Wahai ummat
Islam jangan biarkan syaithan menyeret kalian dan jangan biarkan para
pengikutnya dan orang-orang yang mengikuti para penyembah syaithan memperdaya
kalian sehingga kalian meremehkan kekejian yang memang ingin mereka sebarluakan
diantara kalian dan meremehkan kekufuran yang memang mereka ingin jerumuskan
kalian ke dalamnya.
Karena
masalahnya bukan sekedar boleh atau tidak boleh, sebagaimana yang mereka
samarkan kepada kalian. Melainkan ini adalah masalah aqidah, apakah kalian
tetap kokoh di atas keislaman kalian dan di atas syari’at yang Allah Ta’ala
turunkan kepada kalian dan Dia perintahkan kalian untuk mentaatinya seperti apapun
keadaan kalian? Atau kalian malah mencampakkannya -hanya kepada Allah kita
mohon perlindungan- sehingga kalian kembali kepada panasnya kekufuran dan
kalian bersiap-siap menerima kemurkaan Allah dan Rasul-Nya? Inilah kondisi yang
sebenarnya.
Sesungguhnya mereka
yang mengajak kalian kepada pelarangan poligami, mereka sendiri tidak merasa
sungkan menggauli sekian banyak wanita-wanita genit dan perempuan-perempuan
simpanan dan kondisi mereka yang seperti ini sudah bukan rahasia lagi. Bahkan
sebagian mereka tidak malu-malu menanggalkan seragamnya dan membuang kotorannya
di koran-koran dan tulisan, kemudian membela kebebasan berijtihad di dalam
syari’at dan agama dan merendahkan Islam dan kaum muslimin.
Sesunguhnya
Allah tatkala ia menghalalkan poligami –dengan nash yang jelas di dalam Al
Qur’an- Dia menghalalkannya di dalam syari’at-Nya sepanjang masa pada setiap
zaman dan masa. Dan Dia Maha Mengetahui apa yang terjadi dan yang akan terjadi,
tidak luput dari ilmunya Allah apa yang terjadi berupa peristiwa-peristiwa di
zaman ini dan tidak pula apa yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.
Seandainya hukum ini akan berubah dengan berkembangnya zaman –seperti yang
dituduhkan orang-orang yang menyelewengkan agama- tentu Dia akan jelaskan
nashnya di dalam kitab-Nya atau melalui sunnah Rasul-Nya, “Katakanlah (kepada
mereka):”Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu
(keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi dan Allah Maha Mengetahui seagala sesuatu”. (QS. Al Hujurat: 16)
Dan Islam berlepas diri
dari kependetaan dan kerahiban. Tidak seorang pun berhak menghapus hukum yang
telah ditetapkan oleh Allah di dalam kitab-Nya atau di dalam sunnah Rasul-Nya
Shallallahu `Alaihi Wasallam. Dan tidak seorang pun berhak mengharamkan sesuatu
yang telah Allah halalkan dan tidak pula menghalalkan apa yang telah Allah
haramkan, tidak seorang khalifah, raja, presiden atau menteri. Bahkan semua
ummat ini tidak berhak akan yang demikian apakah berdasarkan kesepakatan atau
dengan perhitungan suara terbanyak. Yang wajib bagi mereka semua adalah tunduk
kepada hukum Allah, dengar kata dan taat.
Simaklah
firman Allah Ta’ala berikut, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (itu adalah)
kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih. (QS. 16: 116-117)
Dan simak juga
firman-Nya,“Katakanlah:”Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan
Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”.
Katakanlah:”Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu
mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS. 10:59)
Maka ketahuilah bahwa
setiap orang yang mengupayakan diharamkannya poligami atau dilarang atau
mengikatnya dengan syarat-syarat yang tidak ada landasannya di dalam Al Kitab
dan As-Sunnah Sungguh dia telah membuat kedustaan atas nama Allah. Dan
ketahuilah bahwa setiap orang akan menghisab dirinya masing-masing, hendaklah
seseorang melihat kembali dimana dia akan dibangkitkan dan dimana dia akan
ditempatkan. Sungguh tunai sudah kewajibanku, Alhamdulillah.
0 komentar:
Posting Komentar