Senin, 09 Februari 2015

Perspektif Kepemimpinan Dalam Islam

Perspektif Kepemimpinan Dalam Islam

Di dalam konsep Islam, pemimpin merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama'ah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah.
Dalam tatanan masyarakat Islami, pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan ummatnya. Apabila sebuah jama'ah memiliki seorang pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan ummatnya akan mencapai titik keberhasilan. Dan sebaliknya, manakala suatu jama'ah dipimpin oleh orang yang memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan, tatanan jama'ah akan mengalami kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran.
Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur yaitu masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip Islam. Begitu pentingnya kepemimpinan atau imam dalam sebuah jama'ah atau kelompok, sampai-sampai Rasulullah bersabda yang maksudnya:"Apabila kamu mengadakan perjalanan secara berkelompok, maka tunjuklah salah satunya sebagai imam (pemimpin perjalanan)."
Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam (Tarikh Islam) mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan ummat muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika Rasulullah saw. wafat, maka para shahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang khalifah. Hingga jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari. Para shahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di kalangan ummat muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama setelah Rasulullah saw. wafat.

Beberapa komponen yang menjadi persyaratan terwujudnya masyarakat Islami, yaitu :
·         Adanya wilayah teritorial yang kondusif (al-bi'ah, al-quro),
·         Adanya umat (al-ummah)
·         Adanya syari'at atau aturan (asy-syari'ah)
·         Adanya pemimpin (al-imamah, amirul ummah)
Pemimpin pun menjadi salah satu pilar penting dalam upaya kebangkitan umat. Islam yang telah dikenal memiliki minhajul hayat (konsep hidup) paling teratur dan sempurna dibandingkan konsep-konsep buatan dan olahan hasil rekayasa dan imajinasi otak manusia, telah menunjukkan nilainya yang universal dan dinamis dalam penyatuan seluruh komponen umat.
Empat pilar kebangkitan umat, kesemuanya saling menopang dan melengkapi, yaitu :
·         Keadilan para pemimpin (umaro)
·         Ilmunya para ‘ulama
·         Kedermawanan para aghniya (orang kaya)
·         Do'anya orang-orang faqir (miskin)

Beberapa istilah yang mengarah kepada pengertian pemimpin, yaitu:
·         Umaro atau ulil amri yang bermakna pemimpin negara (pemerintah)
·         Amirul ummah yang bermakna pemimpin (amir) ummat
·         Al-Qiyadah yang bermakna ketua atau pimpinan kelompok
·         Al-Mas'uliyah yang bermakna penanggung jawab
·         Khadimul ummah yang bermakna pelayan ummat
Dari beberapa istilah diatas, dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi amanah untuk mengurusi permasalahan ummat, baik dalam lingkup jama'ah (kelompok) maupun sampai kepada urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan ummatnya, bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada, baik SDM maupun SDA, hanya untuk pemuasan kepentingan pribadi dan kaum kerabatnya atau kelompoknya.

Kriteria dalam Menentukan Pemimpin
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain:
a.      Faktor Keulamaan
Dalam QS. Fathir:28, Allah menerangkan bahwa diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah.
Berdasarkan QS.Al Hujarat:1, maka ia tidak akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Berdasarkan QS. Al Ankabut: 49, maka seorang pemimpin yang berkriteria ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya berdasarkan sandaran ilmu.

b.      Faktor Intelektual (Kecerdasan)
Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ). Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabda: "Orang yang pintar adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan". (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan.
Berdasarkan QS. Annis’:58, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki
Rasulullah SAW. berpesan:"Barangsiapa menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."

c.       Faktor Kepeloporan
Berdasarkan QS.Az-Zumar:12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam.
Berdasarkan QS.Al An’am:135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja.
Berdasarkan QS.Al An’am:162-163, maka seorang pemimpin haruslah orang yang tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah.
Berdasarkan QS.Ali Imran:110, sebagai khoiru ummah (manusia subjek) maka seorang pemimpin haruslah orang yang selalu menyeru kepada yang ma'ruf, mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan senantiasa beriman kepada Allah.
d.      Faktor Keteladanan
Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb. Berdasarkan QS.Al Ahzab:21, maka seorang pemimpin haruslah menjadikan Rasulullah sebagai suri teladan bagi dirinya. Sehingga, meskipun tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak ia mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.
Berdasarkan QS.Al Qalam:4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa kerusakan (fasada) dan kehancuran.
e.      Faktor Manajerial (Management)
Berdasarkan QS.As Shaff:4, maka seorang pemimpin haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
Seorang pemimpin harus mampu menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya. Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan. Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya. Wallahu a'lam bish-showwab
Semoga kita semua kelak menjadi pemimpin yang adil dan diridhoi oleh Allah SWT.


By: M. Rofi’i_PBA IV STAI Syaichona Moh. Cholil

0 komentar:

Posting Komentar